Sesuai dengan harfiahnya, filsafat berasal dari kata philos dan sophos, yang artinya adalah cinta akan kebijaksanaan, berarti filsafat selalu menghantarkan kita untuk memahami realitas kehidupan dan bagaimana bertindak manusiawi ( actus hominis) dalam berhubungan dengan lingkungan sekitar. Cinta kebijaksanaan ini membuat kita senantiasa untuk terus mencari kebenaran. Dengan berfilsafat akan terbentuk suatu sistem berpikir atau cara berpikir yang terbuka , bukan seperti ilmu yang terfokus pada suatu objek studi. Kebenaran dalam filsafat berobyekan totalitas, yang dikaitkan dengan pemahaman lain seperti ketuhanan, kebaikan, kebijaksanaan dan lain-lain. Oleh karena itu, filsafat merupakan interdisipliner ilmu. Ilmu pengetahuan dilihat sebagai suatu disiplin filsafat, yang membuat ilmu pengetahuan itu terus dikaji untuk dicari kebenarannya dan refleksi tersebut sangat penting untuk perkembangan manusia dan membuat manusia untuk lebih bijaksana dan manusiawi. Ilmu filsafat selalu diberikan di setiap jenjang perguruan tinggi, karena dengan mempelajari filsafat diharapkan mahasiswa dapat berpikir komprehensif yaitu berpikir secara menyeluruh dan radikal dalam membangun pengetahuan, sehingga dia akan bersikap dinamis dan terbuka terhadap lingkungan ( perkembangan) IPTEK yang akan membuat pengetahuannya menjadi luas.
Kendati filsafat dikatakan sebagai
ilmu, namun filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan lainnya. Setiap ilmu
pengetahuan mempunyai obyek tersendiri dan metode pendekatan khusus sesuai
dengan ciri ilmu dan tujuan yang mau dicapai ilmu bersangkutan, dan apabila
tujuan dari suatu ilmu sudah tercapai, maka ilmu itu akan berhenti disana. Oleh
karena itu ilmu yang satu berbeda dengan ilmu lainnya. Sedangkan filsafat bersifat totalitas atau
menggali secara radikal dan menyeluruh terhadap suatu obyek, sehingga
hakikatnya akan bertanya terus menerus dan senantiasa memperdalam ketidak
tahuan.
Salah satu cabang filsafat adalah epistemologi ( teori
pengetahuan), yang berasal dari bahasa yunani, episteme dan logos yang
berarti ilmu atau studi tentang pengetahuan. Epistemologi ini beranjak dari
pertanyaan dasar yaitu apa yang saya ketahui. Dari pertanyaan tersebut membuat
manusia selalu berpikir dan mencari tahu kebenaran. Berpikir sebagai actus
humanus yang membuat kita memiliki banyak pengetahuan tentang realitas kehidupan.
Sesuai dengan hakikat manusia yang selalu ingin mengetahui, ini dapat dilihat
dari pengalaman hidup kita, dimana kita punya dua alasan untuk mengetahui yaitu
hanya untuk sekedar tahu sebagai kepuasan pribadi dan mengetahui untuk
diterapkan di kehidupan sehari-hari. Sehingga dari pengalaman mencari tahu
tersebut muncullah pengetahuan, untuk memperoleh pengetahuan itulah manusia
berpikir terus menerus dan tidak pernah
puas mencari kebenaran. Oleh karena itu segala hasil pengetahuan selalu
bersifat sementara dan terbuka.
Pengetahuan berdasarkan obyek, dibagi menjadi 2 yaitu :
pengetahuan ilmiah dan non ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang
diperoleh dengan metode ilmiah, lebih sistematis dan diorganisasi secara
prosedural sedemikian rupa sehingga teruji validitas kebenaran ilmiahnya dan
dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan pengetahuan non ilmiah adalah
pengetahuan pra ilmiah berupa hasil serapan inderawi yang sadar diperoleh yang
terkadang merupakan perpaduan dengan hasil pemikiran secara akali, serta
berasal dari luar kesadaran seperti intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Bagaimana kita mengetahui secara pasti tentang sesuatu?
Hal ini berawal dari pandangan skeptisme yang selalu meragukan segala sesuatu
dan bahwa pengetahuan itu sulit dicapai. Paham ini sudah berkembang sejak zaman
yunani kuno dan dijawab secara berbeda oleh beberapa aliran seperti
rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme dan bagaimana pengetahuan
dapat ditemukan melalui metode-metode ilmiah yang diterapkan. Rasionalisme
sering dikenal dengan nama filsafat kontinental, dengan beberapa tokoh penting
yaitu Plato, Descartes, Spinoza dan Leibniz. Rasionalisme beranggapan bahwa
pengetahuan yang benar mengandalkan akal. Empirisme (tokoh-tokohnya: John Locke, David Hume, William James,
dsb) berpendapat bahwa sumber pengetahuan satu-satunya adalah pengalaman dan
pengamatan inderawi. Kritisisme merupakan sintesa dari kedua pandangan di atas,
yang dipelopori oleh Aristoteles dan Immanuel Kant, yang beranggapan bahwa
dalam rasionalis dan empiris saling berkaitan dan mempunyai tempat dan porsi
yang cocok dalam menciptakan akal budi. Sedangkan positivisme oleh August Comte
bahwa segala sesuatu diketahui secara positif yaitu berupa semua gejala yang
tampak, sehingga paham ini menolak metafisika.
Paham ini kemudian berkembang dan muncullah filsafat ilmu
baru dengan tokoh-tokohnya Thomas S. Kuhn, Paul Feyerbend, Ros Palter, N.R.
Haison, Imre Lakatos, dll. Pandangannya lebih kurang sama, yang membedakannya
adalah paham baru lebih menekankan perhatian besar pada sejarah ilmu dan
peranannya dalam mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah
yang terjadi.
Setiap pengetahuan selalu mengandung kebenaran, dimana
suatu kebenaran tersebut harus dicari kepastian atau kesahihan kebenarannya.
Kita ketahui bahwa ada dua macam kebenaran yaitu kebenaran empiris dan logis,
dimana ada tiga sifat dasar kebenaran ilmiah; pertama, struktur kebenaran
ilmiah bersifat rasional-logis tau dapat dipahami dengan baik oleh akal budi,
kedua harus berisi empiris artinya harus diuji dengan kenyataan yang ada, dan
ketiga, sifat pragmatis yang menggabungkan dua sifat kebenaran di atas serta
dapat berguna dalam memecahkan permasalahan.
Perkembangan ilmu selalu berlanjut sesuai dengan perkembangan
zaman. Hal ini disebabkan rasa ingin tahu manusia yang besar dan juga karena
alam yang dinamis dan selalu berubah. Semua perkembangan ini juga mempengaruhi
perkembangan teknologi dan berbagai aspek dalam kehidupan manusia dan
mendatangkan efek-efek baru, contohnya pada era globalisasi saat ini. Jika
manusia tidak berpikir dinamis kemungkinan dia akan tertinggal, tetapi jika dia
berpikir untuk terus maju dan komprehensi maka akan terciptalah actus hominis.
Oleh karena itu filsafat selalu diajarkan dalam setiap
jenjang perguruan tinggi, agar merangsang mahasiswa untuk berpikir kritis dan
dinamis dalam membentuk pengetahuannya. Pada pendidikan kedokteran, hakikat
filsafat harus mendasar disetiap civitas akademis, sesuai dengan semboyan bahwa
seorang dokter harus belajar sepanjang hayat. Hal ini semakin terasah melalui
kurikulum berbasis kompetensi Problem
Based Learning sekarang ini, mahasiswa
berperan aktif dalam membentuk pengetahuannya. Melalui tutorial, mahasiswa
dirangsang dan dimotivasi untuk terus mencari jawaban dari masalah yang
didiskusikan dengan mengkajinya dari beberapa sumber atau referensi yang sahih
untuk mendapatkan kebenaran dari jawaban itu. Dari proses tidak tahu kemudian
mencari tahu dengan membuktikannya secara empiris dan rasional sesuai dengan
pendekatan evidence based medicine,
sehingga tercipta civitas akademis ilmiah.
Pengetahuan yang didapat seharusnya tidak tertutup pada
satu obyek saja, tetapi terbuka dan menyeluruh dengan ilmu lainnya, sehingga
dalam pembelajaran Problem Based Learning
ini dilakukan secara terintegrasi. Disiplin ilmu yang ada diintegrasikan dengan
disiplin ilmu yang ada dan diimbangi dengan soft
skill sehingga di dapat seorang dokter yang yang berorientasi komunitas.
Bukan hanya menjadi dokter yang paham ilmu kedokteran saja tetapi juga dokter
yang memiliki moral dan etika.
Filsafat juga ditanamkan pada mahasiswa untuk melakukan
penelitian dalam bidang ilmunya. Dengan penelitian, mahasiswa akan mencari
kebenaran dengan metode ilmiah, sistematis, sesuai prosedur dan tata tertib,
sehingga dapat mengkaji kesahihan atau kepastian dari suatu hipotesa atau
dugaan penelitian tersebut. Kemudian mengemukakan hasil penelitian tersebut
untuk dipublikasikan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, dengan mengimplementasikan filsafat
dalam pendidikan akan mematangkan pandangan dan pola pikir civitas akademis,
terutama mahasiswa sehingga akan mengarahkan mahasiswa kepada pola tingkah laku
(actus hominis) dan berpandangan ilmiah, beretika yang benar, sebagai usaha
untuk menciptakan masyarakat dunia yang manusiawi.
Daftar Pustaka :
1.
Kebung K. Filsafat ilmu pengetahuan.
Prestasi pustaka.2010. p 1-320
2.
Giere R. Scientific Models in Philosophy
of Science, University of Pittsburgh Press (2009). p 211-212
3.
Nasiwan. Filsafat Ilmu. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. 2010
4.
Liza. Pengantar Filsafat dan Ilmu. 2006.
p 1-25
5.
Maulana I. Pengetahuan Lokal dalam
Epistemologi Relasional : Kajian Filsafat Kebudayaan. Volume 21. 2007. p 1-9
Bagus juga nih tulisan^^ numpang link yooo :
BalasHapushttp://harianking.blogspot.com/
terima kasih..
BalasHapussalam kenal. semoga bsa berbagi ilmu.. :)